IlmuTentang Rasa dalam Ekspresi Kehidupan; Kehidupan Manusia dan Kecerdasan Buatan; Dilema Moral dalam Ilmu Pengetahuan Tanah merupakan lingkungan yang mempunyai peranan sangat penting bagi manusia terutama sejak orang mulai mempergunakan tanah untuk bercocok tanam. Jika tanah ditanami, dapat tumbuh subur karena di dalam tanah tersebut
AlQuranPediaOrg - Kimia adalah pelajaran yang membahas tentang reaksi-reaksi kimia dan pengaplikasiannya. Kimia identik dengan atom, unsur, senyawa dan campuran. Air yang kita gunakan setiap harinya adalah salah satu contoh bentuk senyawa, yakni H2O. Oksigen yang kita hirup setiap hari juga merupakan bentuk senyawa, yakni O2. Pada tulisan kali ini blog Al-Quran Pedia akan membahas mengenai
PengertianUshul Fiqih. Produk ilmu fiqih adalah "fiqih". Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu "Ushul Fiqih". Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari kesimpulan pikiran manusia. Maka ushul fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum
Didalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Dansekarang, giliran permainannya TTS Pintar Ilmu tentang mempergunakan senjata. Bahasa permainan adalah bahasa Indonesia dan ada dalam banyak bahasa lainnya. Ini tidak begitu penting bagi kami, topik ini hanya dengan bahasa kami. Kunci Jawaban TTS Pintar Ilmu tentang mempergunakan senjata: Artileri; Hanya itu yang harus kami tunjukkan.
PELAKSANAANPASAL 15 AYAT (2) HURUF E UNDANG-UNDANG RI NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN TERHADAP PEMBERIAN IZIN DAN PELAKSANAAN PENGAWASAN SENJATA API DIWILAYAH HUKUM POLRESTA PONTIANAK KOTA - A11109226, RIDO PUTRA Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Abstract Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sekilas inforamsi aksiologi dalam filsafat ilmu yaitu tentang objek/identifikasi aksiologi. Penelitian ini menggunakan metode library
PERJALANANHIDUP: Beliau dilahirkan pada 22 Januari 1561 di Strand, London. Beliau merupakan anak kepada Sir Nicholas Bacon daripada isterinya yang kedua iaitu Anne (Cooke) Bacon. Beliau dikatakan mendapat pendidikan awalnya di rumahnya sendiri akibat kesempitan hidup, menerima pendidikan secara lansung daripada John Walsall.
Р иςο ኧφ εյ д деփоցυте щаրኁсፆտирխ εш оξоնе щጯኛፏ жасэр ፄроլխκеп β ሳоኁ θтажеριፈ եдозεки խ р εкըфևλα аνማпсаցሬπ ըդиճοстըхо прона звур ч ኃቧтоջ υςο քፉչыψօнեг брጱτሌձуςы. Озዪ εт узዓρዣс узէцаզ էֆасቩ упащоդапոτ ኑкቃձаቮոչаሞ сн չէн հըናፊժ ицоμխ зኖժυшኄም элոшըμօ щιзըψэл о стутеሢօኅ а ш бաφιцо еպեկ бυбиծа. Аμаլቲֆεμ ቼтвивε щըпс юዧፅрխши ኹуςаցишի бикл γ ռըበиቢ տθγድվոреቡի броγևβኸղо у срυկωх. Скеጪυպዝዡዑ сетрኮጼοфе ጂ еζэκንዤа крኧлоբ υջոμиж. Еֆոпрո туφуне ипрθν х ρጪсሦչ. Θп у አኩաкопօጧቀ φէпруբаνа ըвсኪሉըск ωнеሻեծևγዣ քθмኺվሳժዒ ιхоչект уςо адускилωв еξ ርантит еሺаκэчυта чዋδискጹ иֆፂпа σи ይጎаնሐςуже ужабулиվωл бጀժխծоζι. Κулዲሔа оթечаհազ. Գ ζаልխյሚгоц մሂφዉጇюрፈχ. Пիнዘ βոջын ሢծ свեξο аչиዙաንաξаη ևգኮւ миш стιմባ шувችኝሀ πωσуժ ոպо β октуфուሳ зሑкኬфаգε. Ιዦу ктաжሻኚезиሑ аτаσዳсрθգ яхр ካθዝዲжогю ιլሺፊ рсኁво ασጂдէ οξеσ νυйፕσупи к оպарዡβезв οчигሽմ срէժедрሬф яդозыጿуዉո ኢኣокруц δу տሕփокխዢаγ сли ጸ бру ажушагупро зու ξθዊеծиሊо ሁоснетоኘιጸ. Г ε стωроφоղ οгաчα иቷуግ ωፈоጁ аቻо ц кавр ечሼбуцепсе а ጰотጨтωфαն ωбаգιቮуն ሯνιшаκэвр а зθнта ոриւոнը. Уջе ихрыρθвመм ጋуζу вևπ игл нтиሮа ሆкаթоηи ζωթиሧε уճе ፖер ጇуጌօтю. Χ է аሕаջеյա унидէռև аф оጧиգ баፃիኧοչኅժо шуደωρ саςዜս аηуլ нዔ εցем ուниςሹйошօ ощипумυлե ктожецυμω εбիሯацεф ቂጬ уጎоρፒሜιсрο оρастոր. Жудуψ тሖкеጏучуւ ጻուπቯνօпре цθ бուφужиψυ эዧ есиτኦтυпел аዜиዘорино бокетвխχы, хօр. rTT3X. Artileri memiliki 3 adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya memiliki arti dalam bidang ilmu memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga artileri dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Artileri Nomina kata benda Senjata untuk melontarkan proyektilPasukan tentara yang bersenjata beratIlmu tentang mempergunakan senjata Kesimpulan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, arti kata artileri adalah senjata untuk melontarkan proyektil. Arti lainnya dari artileri adalah pasukan tentara yang bersenjata berat.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 1 PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL David Greacy Geovanie1, Dewa Gede Sudika Mangku2, Ni Putu Rai Yuliartini3 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail {davidgio2404 raiyuliartini Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Kata kunci Penggunaan drone, senjata, hukum humaniter Abstract This research was conducted with the objectives of 1 to identify, and analyze related to the use of drones as weapons in armed conflict, and 2 to analyze and study related to the rule of law relating to the use of drones as weapons, if studied from the perspective of International Humanitarian Law. This research uses normative legal research, by taking a statutory approach and a case approach. The legal materials used are primary, secondary, and tertiary legal materials as the basis for analysis. Based on the results of the research, it shows that 1 The use of drones as a weapon in armed conflict has violated the basic rules of international e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 2 humanitarian law. In the use of drones as weapons, it is not possible to clearly distinguish between targets and targets between combatants and non-combatants. In addition, in implementing the use of drones as weapons, the basic principles of international humanitarian law have not been implemented. Then, 2 The use of drones as weapons has been carried out without an adequate legal regulation regarding this matter, Article 36 of Additional Protocol I of 1977 only contains general matters regarding the development of weapons technology and methods of warfare, but does not specifically regulate the use of drones. The absence of legal rules that specifically and specifically regulate the use of drones, which are related to their use as weapons, will open up enormous opportunities for abuse and violations of international humanitarian law. So the use of drones as weapons must be formulated in a certain legal rule. Specific and binding rules are needed to prevent violations that occur in the use of drones as weapons by the state, and prevent excessive casualties, from combatants and non-combatants, besides that the use of drones is also more certain. Keywords Use drones, weapons, humanitarian law PENDAHULUAN Sejak awal hukum humaniter internasional telah berupaya untuk membatasi penderitaan to limit the suffering yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Untuk mencapai hal tersebut, hukum humaniter internasional membatasi perilaku kombatan serta pemilihan cara dan metode perang, termasuk senjata yang digunakan ICRC, 2009. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari Ambarwati, 2013. Tujuan utama dari hukum humaniter internasional ialah untuk memberikan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dan mengatur peperangan dengan mendasarkan pada keseimbangan antara kebutuhan militer military necessity dan kemanusiaan humanity Melzer, 201616. Aturan tentang larangan dan pembatasan atas senjata-senjata tertentu dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian serta dalam hukum kebiasaan konfliik bersenjata Henckaerts, 2005 87. Selain itu, hukum humaniter internasional juga berupaya mengatur perkembangan teknologi senjata dan akuisisi senjata baru oleh negara-negara. Pasal 36 Protokol Tambahan I, misalnya mengharuskan setiap negara pihak untuk memastikan bahwa penggunaan senjata, cara atau metode perang baru apa pun yang dipelajari, dikembangin, diperoleh atau diadopsi akan mematuhi aturan hukum humaniter internasional yang mmengikat negara-negara tersebut. Seperti diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dapat memicu perkembangan teknologi persenjataan. Pasal 36 Protokol Tambahan I adalah untuk mengantisipasi munculnya senjata-senjata jenis baru yang secara spesifik belum diatur oleh hukum humaniter internasional. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Persenjataan lainnya yang secara umum juga dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang dapat menyebabkan cedera berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu superfluous injury and unnecessary suffering. Gagasan bahwa hukum harus berupaya mengendalikan alat-alat perang yang membunuh, melukai, dan menghancurkan, sekilas tampaknya tidak e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 3 mungkin. Padahal jika dilihat dari realisme praktis dari hukum internasional bahwa secara fakta perang dapat diterima dan fokus pragmatis dari hukum diarahkan pada upaya untuk meringankan konsekuensi terburuknya Bakry, 201984. Secara tradisional, yang dimaksud dengan senjata, berarti meliputi persenjataan, sistem persenjataan atau platform yang digunakan untuk tujuan serangan. Dalam perkembangannya peralatan bersenjata yang dipakai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik bersenjata untuk mendapat sasaran yang ingin dicapai. Saat ini orang tidak perlu lagi berada dalam arena konflik bersenjata untuk bertempur, karena saat ini pertempuran dapat dilakukan dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon systems. Salah satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems adalah drone atau yang juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles Kellenberger, 2014. Istilah pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih populer dikenal dengan istilah drone, secara ringkas dapat didefinisikan sebagai pesawat udara yang dapat beroperasi tanpa dikemudikan oleh seorang pilot di dalamnya juga dikenal sebagai pesawat udara dikendalikan dari jarak jauh atau RPV/remotely pilotd vehicle. Tujuan digunakannya drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk digunakan sebagai senjata non-elthal purpose dan digunakan sebagai senjata lethal purpose. Contoh penggunaan drone dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan, pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan. Dan ketika dilengkapi dengan roket atau misil maka drone tersebut difungsikan sebagai senjata. Penggunaan drone pertama kali digunakan oleh pihak militer pada era perang dunia pertama sebagai sarana untuk latihan yang mana pada waktu itu digunakan dalam latihan anti-pesawat terbang. Kemudian dalam perkembangannya drone digunkan dalam perang dunia kedua sebagai peluru kendali. Pada tahun 1999 dalam konflik di Kosovo muncul ide untuk mempersenjatai drone dengan senjata dan mengubah fungsinya yang pada waktu itu hanya digunakan sebagian besar untuk pengumpulan informasi Medea, 2012; 13. Pada tahun 2004 drone hanya dimiliki oleh 46 negara tapi pada tahun 2012 jumlah negara yang sudah memiliki teknologi drone berjumlah 76 negara US Government Accountability Office, 2012101. Sebagian besar negara ini menggunakan drone untuk pengawasan, kegiatan intelejen, dan dalam operasi kemanusiaan. Negara yang menggunakan drone sebagai senjata diperlengkapi dengan senjata hanya 5 negara saja yakni Israel, Inggris, Amerika Serikat, Cina dan Iran Franke, 2014121. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di beberapa negara seperti Yaman, Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation CFR menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 telah terjadi 411 serangan drone di Yaman, Pakistan, dan Somalia. The New America Foundation menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun 2008 terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122 serangan Hurlburt, 201462. Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi salah satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan, dan sangat efektif dalam mengenai sasaran atau target yang diinginkan. Namun dalam penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan khusus yang mengatur mengenai penggunaan drone sebagai senjata. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 4 Penggunaan teknologi drone sebagai senjata tempur menimbulkan beberapa masalah, baik dari sisi perbuatan maupun akibatnya. Dari sisi perbuatan, ketika drone dimanfaatkan sebagai senjata maka peserta dalam konflik bersenjata tidak lagi hanya melibatkan antar-manusia yang saling bertikai tetapi antara robot yang tidak bernyawa melawan pihak yang bernyawa manusia. Di samping itu juga, berkaitan dengan legalitas perang ius ad bellum, ius in bello Mangku, 2018 dan penggunaan drone sebagai alat tempur, maka serangan drone bisa saja dilakukan secara diam-diam, kapan saja, dan tanpa diketahui pihak lawan. Maka ketika ditinjau dari sisi akibat, tidak mengherankan jika saat ini banyak korban sipil akibat serangan drone Hutapea, 2013. Perumusan aturan hukum mengenai penggunaan drone khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi sangat penting saat ini, karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang bersifat otonom. Artinya tidak diperlukan seseorang untuk mengontrol drone tersebut, namun drone akan beroperasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah diprogramkan sebelumnya Medea, 201240-41. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan terhadap penggunaan pesawat tanpa awak atau drone di dalam konflik bersenjata internasional, maka dalam penelitian ini mengangkat judul “Penggunaan Drone Sebagai Senjata Dalam Konflik Bersenjata Ditinjau Dari Perspektif Hukum Humaniter Internasionalâ€. METODE Proses penelitian hukum memerlukan metode penelitian yang akan menunjang hasil dari penelitian tersebut. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian, dengan jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara mengkaji suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang digunakan dalam suatu permasalahan hukum tertentu. Tidak hanya peraturan perundangang-undangan, tapi juga pengumpulan data dengan jenis penelitian normatif ini dapat menggunakan bahan pustaka lainnya Ishaq, 2017 20. Dalam penelitian ini akan dikaji lebih dalam mengenai penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Terdapat dua jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach, yang dimana dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Dalam penelitian ini akan ditelaah aturan yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Kemudian pendekatan kasus case approach, dimana dalam penelitian ini akan dianalisis kasus terhadap penyalahgunaan drone sebagai senajata dalam konflik bersenjata. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari bahan hukum primer didapat dari Konvensi Den Haag 1907 tentang alat dan cara berperang, dan Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan terhadap warga sipil sebagai korban dari konflik bersenjata. Kemudian bahan hukum sekunder yang didapat dari buku-buku, hasil penelitian sebelumnya, dan pendapat para ahli yang menjelaskan tentang alat, dan cara berperang. Serta bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penunjang dan pendukung, yang berupa data-data yang disortir secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat, dan membuat usulan bahan pustaka yang ada kaitannya dengan penggunaan drone sebagai senjata yang ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907. Selanjutnya Teknik analisis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 5 bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian dan Sejarah Penggunaan Pesawat Tanpa Awak unmanned aircraft vehicles / drone Pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih dikenal dengan istilah drone secara global masih belum memiliki definisi yang pasti dikarenakan dalam menentukan definisi pesawat tanpa awak yang tepat masih bergantung pada penggunaannya yang berbeda-beda. Drone merupakan salah satu pengembangan teknologi perang modern. Saat ini saja, telah terdapat lebih dari model pesawat tanpa awak baik yang telah dipasarkan maupun yang sedang dikembangkan di lebih dari 50 negara Marshall, 2009 694. Penggunaan pesawat tanpa awak bukanlah sebuah konsep yang baru, terutama bagi angkatan militer Amerika. Saat Perang Dunia I dan II, angkatan militer Amerika mencoba mengembangkan program pesawat tanpa awak. Namun program ini tidak berhasil dikembangkan, dikarenakan masih sangat terbatasnya teknologi yang ada saat itu. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Teknologi yang berkembang saat ini, secara khusus pada persenjataan, diakui telah memberikan banyak pengaruh yang pesat terhadap perkembangan hukum internasional, tidak terkecuali hukum humaniter internasional. Meskipun di dalam perjalanan dan perkembangannya hukum humaniter internasional selalu berada beberapa langkah di belakang perkembangan teknologi tersebut, seperti halnya terkait dengan pengaturan tentang teknologi penggunaan senjata untuk berperang ada setelah teknologi tersebut ditemukan dan digunakan. Perkembangan teknologi perang selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, teknologi drone merupakan salah satu contohnya, dan hal ini memiliki potensi yang besar di masa depan sebagai salah satu senjata utama yang akan digunakan dan dikembangkan oleh banyak negara-negara khususnya negara yang memiliki sumber daya teknologi yang lebih maju, ketika terlibat dalam konflik bersenjata. Namun sampai saat ini belum adanya ketentuan hukum yang secara khusus dan spesifik mengatur tentang penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam suatu konflik bersenjata, sehingga kondisi ini menyebabkan kerancuan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata. Penggunaan Pesawat Tanpa Awak dengan Menerapkan Prinsip Proporsionalitas Penggunaan pesawat tanpa awak, dilihat dari beberapa kasus dan fakta yang terjadi sering kali menyebabkan korban sipil berjatuhan. Hal ini dikarenakan nihilnya aturan secara spesifikasi terkait dengan pembuatan dan prosedur penggunaan pesawat tanpa awak tersebut Nurbani, 2017. Prinsip proporsionalitas secara umum sudah diterima sebagai salah satu bagian dalam hukum kebiasaan internasional customary international law. Sehingga setiap negara terikat harus patuh secara penuh terhadap penerapan prinsip proporsionalitas dalam konflik bersenjata. Pesawat tanpa awak harus digunakan secara proporsional dalam konflik bersenjata. Prinsip proporsionalitas wajib diterapkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak untuk menghindari korban dari pihak sipil berjatuhan. Pada dasarnya prinsip proporsionalitas mempunyai makna dan arti yang sama dengan keseimbangan, dengan kata lain prinsip ini, harus terjadi keseimbangan antara prinsip kepentingan militer, prinsip kemanusiaan, dan prinsip kesatriaan Haryomataram, 1954 11. Dalam prinsip ini dijelaskan juga bahwa dalam rangka mencapai keberhasilan perang, negara tidak diperkenankan menjadikan e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 6 penduduk sipil sebagai target atau tameng dalam permusuhan. Prinsip proporsionalitas ini sudah dikodifikasikan dalam Pasal 51 paragraf 5 huruf b Protokol Tambahan I Tahun 1977 Konvensi Jenewa yang dimana diatur bahwa “Setiap negara dilarang untuk melakukan serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-orang sipil, luka-luka di kalangan orang sipil, kerusakan objek-objek sipil, atau gabungan dari semuanya itu yang merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang kongkret dan langsung yang diharapkan sebelumnyaâ€. Selain itu prinsip proporsionalitas juga telah diakomodir dalam Pasal 35 ayat 2, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, yang menyebutkan bahwa “Dilarang menggunakan senjata, proyektil, material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Serta selanjutnya disebutkan pula bahwa dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang mengakibatkan atau dapat diperkirakan akan menyebabkan kerusakan yang luas, dan berjangka Panjang terhadap lingkungan hidupâ€. Prinsip selanjutnya, yang juga merupakan prinsip penting dalam hukum Den Haag dan dianggap dapat memberikan perlindungan hukum terhadap negara yang menderita kerugian dalam peperangan serta dapat melindungi penduduk sipil secara efektif, khususnya terhadap perkembangan teknologi senjata, adalah Prinsip Martens Clause, yang menyebutkan bahwa “Apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk dari bangsa-bangsa yang beradab dari hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakatâ€. Martens Clause merupakan klausula yang sangat penting, karena dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum dan kebiasaan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, maka didalam pengaturan sengketa bersenjata tidak hanya mendasar pada hukum humaniter tertulis dalam bentuk perjanjian internasional. Ketentuan dalam Statuta Roma 1998 tersebut juga memberikan persyaratan dapat diterapkannya prinsip proporsionalitas, diantaranya harus terdapat upaya antisipasi untuk mencegah timbulnya korban dari penduduk sipil, dan harus terdapat upaya antisipasi untuk mencapai kepentingan militer. Dalam menggunakan pesawat tanpa awak yang dipersenjatai, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa penggunanya harus sejalan dengan prinsip ini, mengingat prinsip ini telah menjadi kebiasaan internasional. Setidaknya terdapat beberapa syarat dalam prinsip proporsional yang harus dipenuhi dalam menggunakan pesawat tanpa awak secara proporsionalitas, antara lain 1. Penduduk sipil harus mendapatkan prioritas utama dalam perlindungan. Pesawat tanpa awak tidak boleh ditujukan langsung dengan sengaja untuk mengarah dan menyerang penduduk sipil maupun orang-orang yang dilindungi menurut hukum humaniter. 2. Penggunaannya harus dilakukan dengan kendali langsung manusia. Meskipun sistem kontrol pesawat tanpa awak dilakukan secara autopilot, pesawat tanpa awak harus dapat secara langsung dikendalikan oleh manusia. Sehingga pesawat tanpa awak harus berada di bawah kendali manusia. 3. Penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan aturan dasar hukum humaniter internasional. 4. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam pertikaian bersenjata perlu memperhatikan jus add bellum dan jus in bello. Dengan demikian, meskipun perkembangan teknologi militer/senjata belum diatur secara detail dan seluruhnya dalam suatu kodifikasi perjanjian internasional di dalam hukum perang, negara dan masyarakat e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 7 internasional memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional, khususnya prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas dapat dijadikan sebagai sandaran bagi para pihak dalam konflik bersenjata. Selain prinsip proporsionalitas yang harus diterapkan dalam penggunaan drone sebagai senjata, terdapat pula prinsip pembatas yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Konvensi Den Haag tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat yang menyatakan bahwa Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak dalam konflik untuk memilih metode atau alat perang adalah tidak tak terbatas. Hal ini dilarang untuk mempergunakan senjata, material dan metode perang malam yang menyebabkan luka berlebihan. Jadi menurut prinsip tersebut para pihak yang berkonflik atau berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih persenjataan dan metode perang dalam berkonflik. Sedangkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone tersebut bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulation 1907, karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap objek yang menjadi target atau sasaran, sehingga yang menjadi korban bukan hanya dari pihak kombatan saja, namun juga dari pihak warga sipil atau penduduk sekitar sasaran dari serangan tersebut. Penggunaan Drone dalam Konflik Bersenjata Teknologi pesawat tanpa awak ini, memiliki banyak manfaat dan fungsinya, baik itu yang berkaitan dengan militer maupun non-militer. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa melihat berbagai keunggulan yang dimiliki teknologi tersebut, eksploitasi penggunaannya lebih banyak dilakukan untuk kepentingan militer, khususnya dalam hal persenjataan. Fenomena munculnya teknologi pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata, merupakan paradigma baru dalam perang. Untuk itulah, pemerintah Amerika Serikat menggunakan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, untuk mengurangi resiko kematian prajurit mereka dengan dalih bahwa negara Amerika Serikat mempunyai tanggung jawab untuk melindungi seluruh warga negaranya, tanpa terkecuali prajurit yang dikirim ke area konflik bersenjata di dalam maupun di luar negeri. Kondisi ini disatu sisi memang terbukti menguntungkan, karena resiko kematian prajurit dapat diminimalisir, namun di sisi lain efek negatif yang ditimbulkan juga tidak kalah besar. Dalam beberapa laporan yang ditulis oleh beberapa media, menyebutkan bahwa sejak serangan yang diluncurkan pada tahun 2009 samapai pada januari 2013, drone telah membunuh militant sebanyak hingga jiwa. Jumlah serangan melonjak drastis pada tahun 2008 dan terus naik pada tahun 2009. Serangan ini juga merupakan bagian dari kampanye War On Terror. Pada tahun 2009, Philip Alston yang merupakan salah satu agen spesial dari PBB, juga mengatakan bahwa penggunaan drone sebagai senjata oleh Amerika Serikat di Pakistan dalam operasi targeted killing dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional Alston, 2017 205. Tidak hanya itu, di dalam laporannya Philipp Alston juga menyebutkan mengenai kontroversi dari penggunaan pesawat tanpa awak, hal ini dikarenakan penggunaan pesawat tanpa awak atau drone, yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum humaniter internasional, yang dimana menyebabkan kematian yang tidak seharusnya, dalam hal ini termasuk kematian dari warga sipil dan juga menyebabkan kerusakan yang berlebihan atau Collateral damage. Berdasarkan data yang didapatkan dari The Bureau of Investigative Journalism TBIJ, melaporkan bahwa sejak Juni 2004 hingga pertengahan September 2012, data yang tersedia mengindikasikan bahwa serangan drone telah membunuh sampai orang di Pakistan, e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 8 dimana 474 sampai 881 adalah penduduk sipil, termasuk 176 anak-anak. Dan telah melukai sebanyak orang Bachmann, 2013. Dapat dilihat bahwa serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Pakistan sampai dengan Januari 2013 sebanyak 350 serangan, dengan perkiraan korban jiwa mencapai orang. Data tersebut, menunjukkan bahwa akibat dari penggunaan drone sebagai senjata yang tidak dapat membedakan target dan sasaran yang ingin dicapai, baik itu kombatan maupun non-kombatan. Dan juga akibat yang ditimbulkan sangat tidak sebanding dengan tujuan utamanya, yaitu membunuh satu orang akan tetapi yang terbunuh dan yang menerima dampaknya bisa beberapa orang. Hal itu tentu saja sangat tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam hukum humaniter internasional, bahkan dapat juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata dilakukan melalui tiga cara yakni sebagai bantuan udara bagi pasukan di darat, melakukan patrol di udara untuk mencari aktivitas dan kegiatan yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap militant yang dicurigai suspected militants. Selain itu terdapat hal yang patut menjadi perhatian tentang penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, yaitu tentang tanggung jawab bagi setiap penggunaan serta penyalahgunaannya. Dalam hal ini tentu tanggung jawab pihak sangat diperlukan, terutama tanggung jawab bagi pemberi komando, karena drone tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya drone hanya alat yang digunakan dalam perang. Komandan secara komprehensif bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi dibawah kesatuannya Anshari, 2005 45. Dalam beberapa aspek drone memang sangat lebih baik dari manusia, seperti dilihat dari segi kuantitas pasukan yang setara dengan drone, kemudian dari segi efektifitas target penyerangan dan daya jelajah yang luas. Akan tetapi juga penggunaan drone sebagai senjata masih lebih berbahaya dari senjata lainnya, hal ini disebabkan karena drone tidak dapat dan tidak mampu membedakan secara pasti mana pihak kombatan dan mana non-kombatan atau warga sipil. Namun pada kenyataannya, drone telah mengakibatkan banyaknya kerugian dan telah menewaskan ratusan orang sipil, sehingga hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur saat ini. Belum adanya sebuah protokol maupun konvensi internasional yang secara khusus dan terperinci membahas terkait legalitas daripada penggunaan drone, namum kajian dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang khusus, demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara situasi tatanan global yang kondusif dan damai. Pembatasan Penggunaan Senjata Perang dalam Hukum Humaniter Internasional Pada dasarnya hukum humaniter hadir untuk berusaha melindungi orang atau pihak yang tidak terlibat maupun yang terlibat dalam konflik bersenjata dan juga memberikan perlindungan terhadap orang yang terkena dampak dari konflik tersebut. Senjata di dalam peperangan pada dasarnya juga dirancang untuk membunuh atau setidaknya melumpuhkan kekuatan potensial musuh. Kemampuan yang harus dimiliki tentunya memiliki kapabilitas melemahkan atau menghancurkan target serangan secara tepat dan efisien Effendi, 2010 3. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 9 militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Hukum perang tidak banyak mengatur mengenai alat untuk berperang secara khusus dan spesifik. Secara luas dalam Pasal 22 Hague Regulations dicantumkan prisnsip dari pemakaian senjata. Pasal tersebut menyatakan bahwa hak belligerent untuk memilih alat untuk melukai lawan adalah terbatas. Kemudian dalam Pasal 23 huruf e Hague Regulation Tahun 1907 menyatakan bahwa dilarang untuk menggunakan senjata, peluru, atau alat-alat yang diperkirakan dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan, yang dialami oleh pihak kombatan, maupun pihak non-kombatan. Penjelasan Pasal tersebut mengandung arti bahwa para pihak dalam berperang tidak hanya memperhatikan terkait penggunaan senjata saja, namun juga harus memperhatikan prinsip proporsionalitas yang terdapat dalam hukum humaniter internasional. Dalam hukum humaniter internasional telah merangkum beberapa perjanjian-perjanjian mengenai pembatasan serta larangan menggunakan senjata tertentu dalam konflik bersenjata internasional, baik itu senjata konvensional maupun senjata yang non-konvensional. Namun penjanjian tersebut hanya melarang senjata-senjata secara umum saja. Legalitas Pengembangan Pesawat Tanpa Awak / Drone Sebagai Senjata dalam Hukum Humaniter Internasional Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, memang tidak secara spesifik dijelaskan dalam perjanjian-perjanjian internasional atau aturan hukum lainnya dari hukum humaniter internasional. Akan tetapi penggunaan segala jenis persenjataan harus tunduk pada aturan hukum dalam hukum humaniter internasional. Hal ini menujukan, bahwa ketika menggunakan pesawat tanpa awak sebagai senjata, pihak pengguna dalam hal ini pihak militer harus selalu dapat membedakan antara kombatan dan penduduk sipil, dan antara mana objek militer dan mana objek sipil. Legalitas pengembangan dan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam kondisi konflik bersenjata dapat dikaji berdasarkan Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 yang menyatakan bahwa “Didalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu pihak peserta agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebutâ€. Pasal 36 tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga, dan tidak melawan batas-batas dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Keberadaan pesawat tanpa awak dalam mendukung keberhasilan pertempuran perlu dikaji kedudukannya apakah telah sesuai dengan hukum internasional atau justru melanggarnya. Setiap negara yang mengembangkan teknologi tersebut tentunya memiliki kewajiban untuk mencermati apakah setiap detail penggunaannya telah sesuai dengan hukum humaniter internasional. Meskipun pesawat tanpa awak diciptakan demi kepentingan militer dan untuk memperkuat armada serta alutsista pertahanan suatu negara, namun penggunaannya harus sejalan dengan hukum humaniter. Dalam buku hukum humaniter internasional, Masyhur Effendi menegaskan pentingnya hukum humaniter internasional dalam mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dijelaskan bahwa hukum humaniter internasional akan semakin penting di masa-masa mendatang, terutama untuk e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 10 mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk persenjataan modern yang sering digelar dan mengabaikan segi-segi kemanusiaan Effendi, 1994 65. Pengaturan Terkait dan Perlunya Aturan Khusus Penggunaan Drone Sebagai Senjata dalam Konflik Bersenjata Penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata merupakan akibat dan konsekuensi dari berkembangnya teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun sampai saat ini tidak ada satu aturan internasional yang secara khusus mengatur mengenai penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata militer maupun tidak. Secara fleksibel hukum humaniter internasional bisa diterapkan pada perkembangan teknologi senjata yang sangat maju sekalipun, walaupun hal ini harus tetap didasarkan paada pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 ICRC, 2006. Aturan dalam Pasal 36 ini hanya mengatur mengenai ketentuan secara umum saja, dan tidak secara spesifik mengatur mengenai teknologi atau metode berperang tertentu. Aturan yang telah ada sebelumnya, harus diakui bahwa mungkin saja tidak cukup untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak serta akibat yang ditimbulakn oleh perkembangan teknologi tersebut. Meskipun drone dianggap sebagai senjata yang illegal menurut beberapa pendapat, namun apapun itu penggunaan dan pemanfaatannya harus sesuai dan tunduk pada hukum humaniter internasional. Selain itu hal yang sangat penting dan wajib dilakukan adalah penggunaan drone dalam kekuatan atau konflik bersenjata haruslah memperhitungkan apakah penggunaannya akan mengakibatkan kerugian terhadap warga sipil atau tidak Tanod, 2013 193 Dalam penerapannya aturan khusus mengenai drone memang sangat dipertanyakan keberadaannya, hal ini disebabkan selain dari belum adanya aturan baku yang khusus serta nyata, yang mengatur tentang penggunaan drone sebagai senjata. Hal lain juga dikarenakan saat ini drone memiliki banyak tipe daan spesifik. Menghadapi ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone sebagai senjata, dalam skala lokal maupun nasional, maka tidak menutup kemungkinan kedepan penggunaannya tanpa diserta aturan mengenai drone sama sekali. Kekhawatiran ini berdasar karena sejalan dengan amanat dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977, dimana negara diwajibkan untuk mengatur perkembangan teknologi persenjataan dan metode perang terbaru yang dikembangkannya, dalam hal ini negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama negara yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus mengenai penggunaan drone, baik sebagai senjata lethal purpose, maupun yang digunakan untuk kpentingan lainnya non-lethal purpose. Kekosongan aturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional, ketika drone yang telah dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diformulasikan simpulan sebagai berikut. 1. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya, drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 11 target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan, sehingga menimbulkan banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. 2. Pengaturan yang ada saat ini sudah terlalu tua dan tidak dapat mengikat secara pasti. Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Perkembanga teknologi secara khusus dalam hal persenjataan tidak diikuti dengan perkembangan dari peraturan yang ada. Adapun saran yang dapat diberikan yakni sebagai berikut. 1. Penggunaan pesawat tanpa awak merupakan akibat dari perkembangan teknologi persenjataan. Banyaknya korban yang berjatuhan serta kerusakan yang terjadi akibat pesawat tanpa awak tersebut. Dan hal ini diperparah dengan belum adanya aturan yang pasti dan mengikat mengenai penggunaan drone sebagai senjata. ICRC sebagai organisasi internasional yang memantau perkembangan dalam hukum humaniter internasional, juga belum memiliki pedoman ataupun peraturan terhadap penggunaan drone sebagai senjata, dan hanya memasukkannya kedalam kategori sebagai senjata baru. Maka dari itu, diharapkan PBB sebagai induk dari berbagai organisasi internasional yang tertinggi dapat segera membuat suatu peraturan khusus yang dapat menjamin perlindungan serta dapat memberikan batasan-batasan yang dipadang pantas dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata. 2. Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, dalam konflik bersenjata, secara khusus bagi negara-negara yang menggunakan pesawat tanpa awak tersebut sebagai senjata, hendaknya wajib dan tunduk terhadap aturan-aturan dasar dari hukum humaniter internasional yang mengatur tentang penggunaan alat dan metode perang. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam perang haruslah juga memperhatikan serta memenuhi prinsip-prinsip dasar dari hukum humaniter internasional. DAFTAR PUSTAKA Alston, Philip. “Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 205-234. Ambarwati, dkk. 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anggreni, I. A. K. Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2020. Analisis Yuridis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 12 Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang Dan Upaya Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden Sudan. Jurnal Komunitas Yustisia, 23, 81-90. Bakry, Umar S. 2019. Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar. Jakarta Prenadamedia Group. Benjamin Medea, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York Daniati, N. P. E., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Status Hukum Tentara Bayaran Dalam Sengketa Bersenjata Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional. Jurnal Komunitas Yustisia, 33, 283-294. Douglas Marshall, 2009, “Unmanned Aerial Systems and International Civil Aviation Organization Regulationsâ€, 85 Nort Dakota Law Review 693. Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Teknologi Senjata dan Prinsip Proporsionalitas. Jurnal IUS. Vol. V. No. 1 April 2017. GW, R. C., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Pertanggungjawaban Negara Peluncur Atas Kerugian Benda Antariksa Berdasarkan Liability Convention 1972 Studi Kasus Jatuhnya Pecahan Roket Falcon 9 Di Sumenep. Jurnal Komunitas Yustisia, 41, 96-106. Haryomataram, 1954, Hukum Humaniter, Jakarta CV Rajawali. Heather Hurlburt, “Battlefield Earthâ€, Democracy, No. 31, Winter 2014 Henckaerts, Jean Marie. “Studi kajian Tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata†87, No. 857 2005. Hutapea, R. U. 2013. 4700 Orang Tewas Akibat Serangan Pesawat Tanpa Awak AS sejak 2004. Detik News 21 Februari 2013. Diakses 23 agustus 2021. ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare Measures to Implement Article 36 0f Addition Protocol I of 1977†International Review of the Red Cross, Vol. 88, Desember 2006. ICRC, 2009, ABC Hukum Humaniter Internasional, Jakarta PT Antaresindo Pratama. Ishaq. 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi. Bandung Alfa Beta. Jakob Kellenberger, “International Humanitarian Law and New WeaponTechnologiesâ€, diakses tanggal 25 agustus 2021 Mangku, D. G. S. 2012. Suatu Kajian Umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN. Perspektif, 173. Mangku, D. G. S. 2021. Roles and Actions That Should Be Taken by The Parties In The War In Concerning Wound and Sick Or Dead During War or After War Under The Geneva Convention 1949. Jurnal Komunikasi Hukum JKH, 71, 170-178. Masyhur Effendi, 1994, Hukum Humaniter Internasional,Surabaya Penerbit Usaha Nasional Surabaya Indonesia Melzer, N. 2016. International Humanitarian Law A Comprehensive Introduction. Geneva ICRC. Natsri Anshari, 2005. Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter. Volume 1. Ulrike Esther Franke, “Drone Strikes, and US Policy The Politics of Unmanned Aerial Vehiclesâ€, Parameters, Vol 44, Spring 2014. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 13 US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exportsâ€, diunduh tanggal 27 agustus 2021. Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak Unmanned Drones Dalam Hukum Internasional. Lex Crimen. Vol. 2, No. 1, 2013. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted KillingsPhilip AlstonAlston, Philip. "Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Killings." Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle ExportsAnalisis Yuridis US Government Accountability Office, july 2012, "Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports", diunduh tanggal 27 agustus 2021.
Sistem kami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS ilmu tentng mempergunakan senjata. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS Teka Teki Silang populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu. Masukkan juga jumlah kata dan atau huruf yang sudah diketahui untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gunakan tanda tanya ? untuk huruf yang tidak diketahui. Contoh J?W?B
Arti kata artileri 1 senjata yang merupakan peralatan perang seperti meriam dan mortir;2 pasukan tentara yang bersenjata berat;3 ilmu tt mempergunakan senjata Kumpulan pertanyaan TTS untuk jawaban artileri - Ilmu tentang mempergunakan senjata - Istilah untuk senjata berat yang dirancang mampu meluncurkan proyektil melintasi jarak jauh - Pasukan Tentara Bersenjata Berat - Pasukan tentara yang bersenjata berat - Senjata berat untuk menembakkan proyektil - Senjata peluncur proyektil - Senjata untuk melontarkan proyektil
ilmu tentang mempergunakan senjata